Sabtu, 11 Februari 2017

Untukmu yang Berjubah Api

Mei, tahun pertama

Untukmu yang berjubah api, hangatmu mencairkan hati yang membeku; hati yang sempat kudinginkan karena luka di masa lalu. Apa kau tahu? Meratapi puing di antara reruntuhan kisah lama, tanpa mengikuti ritme dunia, adalah ilusi yang menenangkan. Jadi, tak usah mengharapkanku menitipkan sesuatu yang belum tentu bisa kau jaga. Meski mungkin, pengharapan darimu hanyalah pengharapan dariku semata.
Jangan memikat jika kau tak berniat mengikat.
Kau imigran gelap yang menjelajah khayalku tanpa permisi, lalu singgah di ujung mimpi. Mantra apa yang kautaburkan hingga aku menggilaimu seperti ini? Senjata apa yang kaupakai hingga tamengku tak sekuat dulu? Haruskah aku menyerah di hadapanmu? Atau perlukah aku berpura-pura tangguh? Apa mesti kau kuusir? Atau kubiarkan saja kau menetap?
Jika ingin menetap, jangan menetap sebagai 'tanda tanya' tapi sebagai 'titik' pengembaraan. Kau jernih di antara buram, nyata di antara nanar. Biar kurengkuh dirimu beberapa milimeter ke dekat jantungku, agar detaknya seirama dengan jantungmu. Karena aku ingin hatiku dan hatimu berkonspirasi, berkonsorsium, berkongsi, berkompilasi, berkomplot, hingga pada akhirnya berkolaborasi. Karena aku yang egois ini hanya ingin kau menjadi milikku seorang.
Untukmu yang berjubah api, kuharap hangatmu takkan padam, karena aku tahu aku pun tidak.

Fiersa Besari, Garis Waktu, hlm. 19-20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar