Selasa, 26 April 2016

Cuma Cinta Cuma-Cuma

Cuma Cinta Cuma-Cuma

Yoza Sembodo, tak ada yang tak kenal dengan Yoza Sembodo di sekolahnya. Yoza anak pertama dari keluarga pengusaha kaya, Agung Sembodo. Dia tipe laki-laki yang flamboyan, begitu menarik. Meskipun baru 17 tahun, pesona Yoza telah memikat kaum hawa di sekolahnya. Mungkin tak hanya di sekolahnya, di tempat les atau tempat nongkrong, dia selalu terlihat menarik.
            Sekilas, Yoza terlihat begitu sempurna. Tapi, benarkah dia sempurna? Pastinya tidak. Karena tak ada manusia yang sempurna. Yoza bukan siswa yang pandai. Ia masuk dalam program ilmu alam di sekolahnya karena bantuan sahabatnya. Rithalia. Alia sahabat terbaik Yoza yang selalu bersedia membantunya. Persahabatan itu terjalin sejak mereka masih kecil karena rumah mereka berdekatan. Meskipun Alia bukan anak orang kaya seperti Yoza, Alia tak pernah minder karena ia memiliki kelebihan dibangding Yoza. Begitupun Yoza yang tak pernah merendahkan Alia karena ia sadar bahwa Alia yang selama ini membantu ia belajar.
            “Al, aku jadian sama Dian.” Curhat Yoza pada Alia ketika mereka belajar bersama di rumh Yoza.
            “Maksudmu Diandra?” Tanya Alia meyakinkan.
            “Yupz!” Jawab Yoza mantab dan bangga.
            “Kamu ‘kan belum sebulan putus dari Risa?” Alia masih belum percaya dengan Yoza.
            “Masa bodo! Cewek matre kayak Risa gak pantes ditangisi lama-lama.” Timpal Yoza agak ketus.
            “Iya sih! Tapi, apa Kamu yakin kalo Dian gak matre juga kayak mantan-mantanmu itu?” Tanya Alia.
            “Aku belum yakin sih! Tap, kita lihat dulu aja nanti.” Jawab Yoza meragu.
            “Aku Cuma mengingatkan saja. Banyak cewek yang tergila-gila padamu karena Kamu anak orang kaya. Memang sulit membedakan mana yang benar-benar mencintaimu sebagai dirimu sendiri atau yang hanya mencintai kekayaan orang tuamu. Wanita terlalu pintar bersandiwara.” Tutur Alia.
            Yoza terdiam seolah membenarkan perkataan Alia itu. Memang, dari sekian gadis yang pernah menjadi pacarnya tergolong materialistis. Sebenarnya dia jenuh dengan keadaannya sekarang. Terkadang dia berpikir, jika dia bukan anak dari orang kaya, akankah tetap banyak gadis yang mendekatinya? Tapi, ego mudanya untuk hura-hura masih begitu kuat untuk ditentang.
            Alia menepuk pundak Yoza yang tengah termenung itu. Yoza menatap lekat Alia yang tengah memamerkan senyum termanisnya. Tatapan itu menghujam dalam mengusik relung kalbu terdalam Alia.
* * *
            Yoza begitu asyik bercengkerama dengan Dian di perpus sekolah. Mereka asyik membahas majalah fashion yang biasa dibawa Dian. Semua siswa tahu bahwa Dian siswa yang stylish, modis dan entah apalagi sebutannya. Dia tak segan-segan mengeluarkan uang untuk penampilan terbaiknya.
            “Al, ayo gabung sini!” Ajak Dian pada Alia yang tengah duduk sendiri di bangku seberang agak jauh dari tempat Yoza dan Dian duduk.
            Alia tersenyum. Ia memang lebih menyukai Dian daripada pacar Yoza yang dulu. Hanya Dian yang mau bersikap baik padanya dan menganggapnya sebagai sahabat seperti Yoza. Pacar-pacar Yoza yang dulu tak pernah suka pada kedekatannya dengan Yoza. Dan hal itu juga membuat Yoza mudah untuk memutuskan pacarnya. Karena mau bagaimanapun, Yoza masih butuh Alia dan Yoza telah menganggap Alia sebagai saudaranya sendiri. Yoza pun juga menyuki sikap Dian yang baik pada Alia.
            Alia mendekat, kemudian duduk di dekat Dian dan Yoza.
            “Kenapa suka menyendiri sih, Al?” Tanya Dian enteng.
            Alia tersenyum. “Takut mengganggu.” Jawab Alia begitu polosnya.
            “Kamu gak ganggu kok. Malah asyik kalo makin banyak oang ‘kan makin rame gitu.” Sergah Dian.
            “Alah, Alia tuh menyendiri biar kalo pas baca novel terus nangis gak ada yang lihat.” Goda Yoza.
            Alia mendelik.
            “O, gitu! Berarti malah kita dong yang ganggu Alia?” Canda Dian.
            “Gak usah percaya omongan Yoza.” Balas Alia.
            “Ya udah deh! Lanjutin aja bacanya, Al.” Kata Dian menengahi.
            Alia kembali larut dalam suasana roman yang dibacanya. Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan Takdir Alisjahbana. Namun, ia masih bisa dengar dengan jelas pembicaraan Yoza dan Dian.
            Sesekali Alia mengerutkan kening mendengar pembicaraan Yoza dan Dian karena Dian merengek untuk membeli suatu aksesoris yang ada dalam majalah yang dibawanya itu. Apalagi saat Yoza menyetujui dan berjanji akan membelikan aksesoris yang diinginkan Dian. Dalam hati Alia menyayangkan sikap Yoza yang memanjakan pacarnya. Sebagai seorang wanita, terkadang Alia juga ingin dimanja, tapi dia tahu bahwa tak selamanya kebahagiaan karena materi.
* * *
            “Udah ngeluarin berapa duit buat Dian?” Sindir Alia pada Yoza saat mereka tengah duduk-duduk santai di depan rumah Alia.
            “Ah, cuma beli bando sama jam tangan buat Dian. Gak mahal kok!” Balas Yoza.
            “Gak mahal? Kamu keterlaluan!” Timpal Alia jengkel.
            “Bagiku itu wajar.” Bela Yoza.
            “Coba bayangkan kalo orang tuamu gak setajir itu, apakah Kamu akan tetap katakan itu wajar?” Desak Alia.
            Yoza terdiam membenarkan Alia. Dia memang hanya bisa menghambur-hamburkan uang orang tuanya. Tapi, memang hasrat muda itu masih begitu sulit untuk ditentang.
            “Za, aku gak mau Kamu terus-terusan hanya dimanfaatkan pacarmu.” Ungkap Alia.
            Yoza tetap tak bergeming.
            Alia meraih tangan Yoza. Yoza menatap lekat Alia, terasa menghujam jantung. “Masih ada gadis yang mau mencintaimu sebagai dirimu sendiri, bukan Yoza Sembodo anak dari seorang pengusaha kaya Agung Sembodo.” Tutur Alia lembut.
            Yoza masih tak bergeming menatap sepasang mata yang mengalirkan air itu. Ada sedikit getaran terselip dibenaknya. Ia merasa sepasang mata itu menyiratkan sebuah asa yang terpendam dalam. Lama. Dengan segala kelelahan yang tergurat di wajah cantik gadis di hadapannya. Cinta.
* * *
Akhirnya Yoza meninggalkan Dian. Memang tak mudah untuk memberi pengertian pada Dian tentang alasannya untuk putus. Butuh waktu untuk membuat Dian mau menerima keputusannya itu. Entah. Yoza pun bingung, ia merasa begitu yakin Alia memiliki cinta yang lebih dibanding gadis lain. Ia merasa begitu yakin akan hal itu, mungkin karena ia sudah lama mengenal Alia. Ia sudah tahu pribadi Alia. Selama ini, Alia hanya mengagumi seseorang. Hendra Susilo. Pak Hendra, guru bahasa Indonesia di sekolahya. Dan Alia benar-benar patah hati saat pak Hendra menikah. Karena hal itu, Alia sakit selama sebulan, bahkan Alia pernah kepergok meminum racun serangga. Untung, Alia masih bisa diselamatkan.
Tragedi itu terjadi setahun lalu. Hingga kini, Yoza belum mendengar lagi Aia jatuh cinta. Tapi, kini ia yakin Alia jatuh cinta padanya. Dia yakin pada apa yang dirasakannya itu. Ia tahu, jika Alia jatuh cinta Alia akan mencintai orang itu sepenuh hatinya.
* * *
            Telah beberapa minggu Yoza dan Alia meresmikan hubungan mereka menjadi pacaran. Tentu saja ada cibiran atau kemakluman. Banyak yang mencibir karena mereka menganggap Alia memanfaatkan kepandaiannya untuk menggaet Yoza sehingga ia bisa ikut merasakan kekayaan orang tua Yoza. Bagi mereka yang memaklumi, mereka tahu Yoza dan Alia telah lama bersahabat baik. Sebuah kewajaran jika mereka saling jatuh cinta.
            Selama ini, Yoza yang sering mengajak Alia untuk keluar jalan-jalan. Orang tua Alia yang selama ini mengekang Alia, dengan senang hati mengizinkan putri bungsunya untuk keluar dengan Yoza. Mereka tahu siapa Yoza, mereka juga sangat mengenal keluarga Agung Sembodo.
            Yoza mengajak Alia makan di restoran yang mahal yang belum pernah Alia kunjungi sebelumnya. Yoza memanjakannya dengan membelikannya berbagai macam aksesoris. Alia yang lugu dan sederhana, dalam sekejap berubah menjadi modis. Alia menjadi terbiasa hidup dengan kemewahan yang Yoza berikan. Karena hal itu, Alia pun menjadi tak beda dengan pacar-pacar Yoza yang dulu.
            “Sepatunya bagus banget!” Ungkap Alia kagum saat ia kencan dengan Yoza di suatu mall.
            Sebagai lelaki, Yoza begitu tanggap dan langsung membelikan sepatu itu untuk Alia. Yoza makin merasa Alia tak beda dengan gadis lain yang suka pada kelimpahan materi yang dimiliki orang tuanya. Alia terlihat begitu materialistis saat berada di toko buku. Alia yang gemar membaca itu gemar memborong buku saat ia kencan dengan Yoza. Mau tak mau, Yoza yang membelikan semua buku yang diborong Alia.
            Yoza menyesal. Ia dulu meyakini bahwa Alia mencintainya bukan karena kekayaan orang tuanya, tapi itu salah besar. Alia sama dengan mereka. Gadis yang hanya mencintai kelimpahan materi orang tuanya. Ia juga tak pernah menyangka dengan sikap baru Alia itu. Alia yang jadi modis, gemar merengek meminta berbagai macam aksesoris. Alia yang update tentang novel, marayu dengan berbagai cara agar Yoza mau membelikannya novel terbaru. Bahkan Alia mau diajak makan jika di rumah makan yang mewah. Yoza merasa bahwa Alia jauh lebih matre daripada pacar-pacarnya yang dulu.
            Dan Yoza kini merasa begitu jenuh dengan dirinya sendiri. Berulang kali ia disukai dan dikejar-kejar gadis hanya karena kekayaan orang tuanya.
* * *
            “Alia....” Desah Yoza saat mereka berdua di taman belakang rumah Yoza.
            Alia tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya yang tertata manis. Yoza terpukau sesaat. Memang diakuinya, Alia terlihat jauh lebih cantik tapi menyebalkan.
            “Maaf, aku tak bisa melanjutkan hubungan kita.” Ungkap Yoza dengan hati-hati.
            “Maksudmu?”
            “Kita sambung tali yang sempat terikat erat ini menjadi sebuah persahabatn seperti dulu.” Terang Yoza. Segera ia menggigit bibirnya. Ia sebal dengan Alia, tapi ia juga tak tega menyakiti Alia.
            Tak seperti yang Yoza duga, Alia tampak tenang. Ia malah kembali memamerkan senyum termanisnya.
            “Boleh tahu apa alasanmu?” Tanya Alia dengan tenangnya.
            “Maaf, Al! Aku merasa Kamu tak beda dengan Dian, Risa atau mantan pacarku yang dulu. Kamu juga materialistis. Aku merasa Kamu bahkan lebih matre daripada mereka. Selama ini Kamu tak menyukai mereka karena mereka matre. Tapi, disaat Kamu berada dalam posisi yang sama dengan mereka, Kamu juga sama saja dengan mereka. Yang Kamu katakan kemarin tentang mereka itu, kurasa itu Cuma rasa irimu pada mereka yang kumanja. Kamu adalah sahabat terbaikku, tapi aku tak pernah memanjakanmu.” Yoza menjawab panjang lebar dengan hati-hati supaya tidak menyinggung perasaan Alia.
            Tapi, sedikit pun Alia tak terlihat tersinggung. Ia tampak begitu tenang. Tidak tergurat sedikit pun sakit hati di wajahnya.
            “Aku bisa menerima alasan dan keputusanmu itu, Za.” Ujar Alia.
            Yoza tercengang antara senang dan heran. Ia senang karena Alia tak tersinggung sehingga dia tak perlu tak enak hati dengan Alia. Tapi, dia heran. Alia beda dengan pacar-pacarnya yang dulu. Tak seperti Dian atau Risa atau mantannya yang lain yang tak bisa langsung menerima keputusannya untuk putus. Mereka berontak dan menangis dengan memohon dan mengeluarkan kata-kata gombal supaya Yoza tak jadi minta putus. Tapi, Yoza tahu itu hanya trik dan muslihat mereka saja. Namun, alia berbeda, alia langsung menerima keputusannya. Apakah pelajaran patah hati yang ia rasakan saat pak Hendra menikah mengajarkannya untuk tegar dan menyikapi sesuatu dengan bijaksana? Entahlah, karena Yoza hanya bisa menerka-nerka.
            “Tapi, aku mau pulang sebentar. Nanti aku kembali lagi. Kamu jangan ke mana-mana dulu.” Pamit Alia.
            Yoza memandangi punggung Alia yang makin terlihat jauh dan akhirnya tak terlihat lagi dengan berbagai pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya.
            Tak lama kemudian, Alia datang membawa dua amplop coklat berukuran sama dan ketebalan yang berbeda.
            “Za, amplop ini berisi uang senilai Rp 3.754.000,00.” Ujar Alia dengan menyerahkan amplop tebal pada Yoza.
            Yoza menerima dengan ragu. “Maksudmu?”
            “Uang itu adalah uang yang Kamu keluarkan selama kita pacaran. Oya, amplop ini berisi catatan pengeluaranmu itu. Lengkap kok darri barang yang Kamu beli beserta harganya. Aku selama ini memang mencatat semua uang yang Kamu keluarkan untuk kencan kita. Aku harus mengambil seluruh tabunganku untuk mengembalikan semua uangmu ini.” Terang Alia dengan menyerahkan amplop yang satu lagi yang lebih tipis.
            Sedang Yoza menata Alia tak mengerti.
            Alia tersenyum renyah.
            “Selama ini, aku sengaja jadi matre untuk memberimu pelajaran. Aku tahu kalo Kamu pengen beli HP model terbaru, tapi tante tak mau membelikan karena Kamu baru dibelikan HP delapan bulan lalu. Tante bilang padaku, kalo beliau membolehkan Kamu untuk beli HP baru dengan uang tabunganmu sendiri. Tapi, selama ini Kamu lebih menuruti keinginan pacar-pacarmu sehingga tabunganmu terbuang sia-sia. Tante tahu itu, tapi tante diam saja. Hingga tante minta tolong padaku supaya aku bisa membuatmu lebih bisa memanfaatkan unag tabunganmu sebaik mungkin. Jumlah uang itu mungkin cukup untuk beli HP baru meski bukan merk HP terbaik.” Alia menuturkan semua akalnya untuk memberi pelajaran pada Yoza.
            Yoza tak bergeming. Ia tak menyangka bahwa Alia begitu baik dan perhatian padanya. Ia salah telah mengira Alia matre. Karena nyatanya Alia hanya ingin memberinya pelajaran atas utusan mamanya.
            “Maaf kalo aku mempermainkanmu, Za?” Pinta Alia dengan penyesalan dan rasa tak enak hati yang menggayut.
            “Harusnya aku yang berterima kasih padamu, Al!” Balas Yoza dengan tetap menunduk, tak berani menatap Alia karena merasa begitu keliru.
            “Itulah gunanya sahabat, Za! Meluruskan saat sang sahabat salah berbelok arah.” Ungkap Alia sembari mengusap punggung Yoza.
            Yoza ,meraih tangan Alia dan meremasnya pelan. Menatap tajam ke bola mata Alia. “Jadi, selama Kamu berpacaran denganku, Kamu tak pernah mencintaiku?” Tanya Yoza dengan berkaca-kaca.
            Alia tersenyum.
            “Biarkan aku sendiri dengan duniaku, Za!” Jawab Alia dalam hati.
            Yoza makin menatap tajam, menghujam dalam bola mata Alia. Namun, Alia malah melepaskan tangannya dari genggaman Yoza.
            Sekali lagi, Alia tersenyum. “Tak selamanya kebahagiaan karena materi. Cinta tak butuh materi, Za.” Desah Alia.

            Lalu, Alia melenggang membiarkan Yoza sendiri yang setengah mati mencoba mencerna perkataan Alia.

judul saya adaptasi dari sebuah kumpulan surat cinta yang pernah saya baca. maaf, lupa dengan nama penulisnya.
*zalinggar* pecinta sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar