Jumat, 01 April 2016

Pak Muis

Pak Muis
Panggung ditata menjadi sebuah ruangan kelas. Ada sebelas siswa yang hadir di kelas kala itu. Dalam kondisi normal, kelas berisi 18 siswa. Namun, lebih sering kelas berisi 10 siswa. Itu pun siswa yang juga menjadi penghuni di pesantren. Muis datang menuju kelas tujuh tersebut.

Muis               : “Assalamu’alaikum, anak – anak.”
Siswa             : “Wa’alaikumsalam, Pak.”
            Para siswa menyambut kedatangan Muis dengan jabatan tangan satu per satu. Jabatan tangan murid dengan guru, menjadi simbol ikatan kuat antara mereka. Ikatan yang membuatnya betah mengajar dalam berbagai kondisi.
Muis               :   “Untuk pelajaran kali ini, kita akan mempelajari cara menghormati orang tua. Sudah siap, Anak – anak?”
Siswa             : “Siap, Pak!”
Muis               : “Coba Kamu, Sulis dan Azis maju!”
(Kedua anak tersebut maju di depan kelas).
Muis               : “Yang lain perhatikan ke depan. Seandainya saya orang tua kalian berdua, apa yang kalian lakukan setelah pulang sekolah?”
Siswa 1           : “Langsung ke dapur, makan, Pak!”
Siswa 2          : “Huuuuhhh! Makan saja yang diurus, nanti perut kamu meledak.
Siswa             :   (Tertawa).
Muis               : (Tersenyum). “Perhatikan kembali! Sulis dan Azis coba berdiri dekat pintu! Begitu pulang sekolah beri salam pada orang tua di dalam rumah! Coba beri salam.”
Sulis dan Azis    : “Assalamu’alaikum.”
Muis               : “Setelah itu, cari orang tua kalian kemudian jabat tangannya. Jika saya orang tua kalian, coba jabat tangan saya!”
Sulis dan Aziz   : (menjabat tangan Muis).
Muis               : “begitulah cara menghormat pada orang tua sepulang sekolah. Mengerti, Nak – anak?”
Siswa             : “Mengerti…!!!”
Muis               : “Kalian berdua kembali duduk.”
Kemudian datang seorang pengelola pesantren.
Abdul            : “Assalamu’alaikum!”
Muis               : “Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk!”
Abdul            : “Pak, kelas Sembilan tidak ada gurunya.”
Muis               : “Tunggu sebentar, saya akan ke sana.”
Abdul            : “Baik, Pak.” (Abdul kembali keluar dari kelas tujuh tersebut).
Muis               : “Anak – anak, sekarang kalian membaca puisi yang ada dalam buku LKS kalian di halaman 24. Puisi “Doa” karya Chairil Anwar itu. Nanti, jika saya datang ke sini, saya akan menyuruh kalian satu per satu membaca puisi itu di depan kelas.”
Siswa             : “Baik, Pak.”
Muis melangkah ke luar menuju kelas Sembilan yang tak ada gurunya.
* * *
Selain mengajar di sekolah, Muis juga mengajar mengaji di masjid dekat rumahnya selesai Maghrib hingga Isya’.
Selesai mengajar di sekolah, Muis pergi ke ladang untuk mencabuti rumput di ladang cabainya yang hampir panen itu. Tak lama kemudian, datang seorang laki – laki setengah baya yang sedang mencari rumput di dekat lading Muis.
Rahman        : “Cabainya sudah hampir bisa dipanen ya, Pak?”
Muis               : “Iya, alhamdulilah, Pak. Bapak sedang mencari rumput untuk kambingnya?”
Rahman        : “Kambing – kambing saya sudah dijual semua, Pak. Untuk biaya sekolah Heri di SMA. Tinggal sapi 2 ekor.”
Muis               : “Wah, bagus itu. Bapak sangat memperhatikan pendidikan anak.”
Rahman        : “Selama saya masih mampu membiayainya, saya akan menyekolahkan Heri sampai akhir.”
Muis               : “Bagus sekali itu, Pak.”
Rahman        : “Ini semua juga karena saya ingin Heri bisa seperti Bapak.”
Muis               : “Maksudnya apa, Pak?”
Rahman        : “Pak, kenapa Bapak betah menjalani kegiatan yang sangat padat, dari mengajar, berladang hingga mengajar mengaji?”
Muis               : “Menjalani kegiatan yang padat, bukan dilihat betah atau tidak, senang atau tidak. Bagaimana kegiatan itu dijalani lebih penting. Ketika waktu yang melingkupi kehidupan setiap hari berhasil ditaklukan dengan berbagai kegitan, berarti kita memanfaatkan seluruh potensi yang dianugerahkan Allah pada kita. Anugerah berupa pikiran, hati, imajinasi, dan tubuh yang sehat harus digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.”
Rahman        : “Tapi, imbalan untuk Bapak tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh?”
Muis               : “Jika kehidupan dipandang dari hasil, akan kiamat dunia ini. Sebab hasil tidak setiap saat seiring dengan proses, ketika tidak berimbang kita akan kecewa, frustasi, stres dan pusing. Maka, melakukan suatu proses yang optimal, tidak harus mengharap hasil optimal pula. Percayalah! Dengan proses optimal, kita akan menggapai makna kehidupan yang dalam. Makna kehidupan yang akan menggiring pada kebijaksanaan, kebaikan tertinggi, dan kebahagiaan sempurna. Sehingga kita bisa menangkap ikan dalam air keruh tanpa riak.”
Rahman        : “Apa Bapak sudah mencapai taraf itu?”
Muis               : “Belum. Saya percaya akan mencapainya suatu saat. Waktu yang akan mencatat apa yang telah kita kerjakan di dunia, tempat perhentian sesaat yang sewaktu – waktu bisa ditinggalkan.
Rahman        : “Bapak adalah tokoh yang sebenarnya, yang diimpikan kehadirannya oleh seluruh rakyat Indonesia. Bapak figur yang tepat menjadi tokoh tanpa menjadi tokoh, yang mampu mengerahkan segala potensi yang dimiliki demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tanpa melihat imbalan yang diperoleh, tanpa melihat hail yang di dapat, tanpa pamrih. Seharusnya Andi Malarangeng, Nurdin Halid, SBY, dan para pejabat tinggi kita belajar pada Bapak. Kehadiran Bapak lebih bermakna bagi rakyat dari tokoh itu sendiri.”
Muis               : “Jangan terlalu memuji saya, Pak. Saya hanya orang biasa saja.”
Rahman        : “Karena itulah saya ingin anak saya, Heri bisa seperti Bapak. Pekerja keras dan tanpa pamrih.
Muis               : (Tersenyum).

Senyum yang memberi tanda agar tidak terhanyut dalam buaian pujian. Pujian adalah racun yang bisa membunuh. Muis berhati – hati terhadap racun, maka ia tak pernah memedulikannya.

"naskah drama ini adalah tugas kuliah Ekspresi Tulis Sastra lima tahun lalu. agak sensitif judulnya karena diambil dari nama seseorang yang saya kenal. semoga dapat memberimu inspirasi, kawan! maaf untuk Kang Muis yang namanya saya curi untuk judul naskah drama ini."
*zalinggar* pecinta sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar