Pak Muis
Panggung
ditata menjadi sebuah ruangan kelas. Ada sebelas siswa yang hadir di kelas kala
itu. Dalam kondisi normal, kelas berisi 18 siswa. Namun, lebih sering kelas
berisi 10 siswa. Itu pun siswa yang juga menjadi penghuni di pesantren. Muis
datang menuju kelas tujuh tersebut.
Muis
: “Assalamu’alaikum,
anak – anak.”
Siswa :
“Wa’alaikumsalam, Pak.”
Para
siswa menyambut kedatangan Muis dengan jabatan tangan satu per satu. Jabatan
tangan murid dengan guru, menjadi simbol ikatan kuat antara mereka. Ikatan yang
membuatnya betah mengajar dalam berbagai kondisi.
Muis : “Untuk pelajaran kali ini, kita akan
mempelajari cara menghormati orang tua. Sudah siap, Anak – anak?”
Siswa :
“Siap, Pak!”
Muis :
“Coba Kamu, Sulis dan Azis maju!”
(Kedua anak tersebut maju di depan
kelas).
Muis :
“Yang lain perhatikan ke depan. Seandainya saya orang tua kalian berdua, apa
yang kalian lakukan setelah pulang sekolah?”
Siswa 1 :
“Langsung ke dapur, makan, Pak!”
Siswa 2 :
“Huuuuhhh! Makan saja yang diurus, nanti perut kamu meledak.
Siswa : (Tertawa).
Muis :
(Tersenyum). “Perhatikan kembali! Sulis dan Azis coba berdiri dekat pintu!
Begitu pulang sekolah beri salam pada orang tua di dalam rumah! Coba beri
salam.”
Sulis dan Azis : “Assalamu’alaikum.”
Muis : “Setelah itu, cari orang tua
kalian kemudian jabat tangannya. Jika saya orang tua kalian, coba jabat tangan
saya!”
Sulis dan Aziz : (menjabat tangan Muis).
Muis : “begitulah cara menghormat pada
orang tua sepulang sekolah. Mengerti, Nak – anak?”
Siswa : “Mengerti…!!!”
Muis : “Kalian berdua kembali duduk.”
Kemudian datang
seorang pengelola pesantren.
Abdul : “Assalamu’alaikum!”
Muis : “Wa’alaikumsalam. Silahkan
masuk!”
Abdul :
“Pak, kelas Sembilan tidak ada gurunya.”
Muis :
“Tunggu sebentar, saya akan ke sana.”
Abdul :
“Baik, Pak.” (Abdul kembali keluar dari kelas tujuh tersebut).
Muis :
“Anak – anak, sekarang kalian membaca puisi yang ada dalam buku LKS kalian di
halaman 24. Puisi “Doa” karya Chairil Anwar itu. Nanti, jika saya datang ke
sini, saya akan menyuruh kalian satu per satu membaca puisi itu di depan
kelas.”
Siswa :
“Baik, Pak.”
Muis melangkah ke luar menuju kelas
Sembilan yang tak ada gurunya.
*
* *
Selain mengajar di sekolah, Muis juga
mengajar mengaji di masjid dekat rumahnya selesai Maghrib hingga Isya’.
Selesai mengajar di sekolah, Muis pergi
ke ladang untuk mencabuti rumput di ladang cabainya yang hampir panen itu. Tak
lama kemudian, datang seorang laki – laki setengah baya yang sedang mencari
rumput di dekat lading Muis.
Rahman :
“Cabainya sudah hampir bisa dipanen ya, Pak?”
Muis :
“Iya, alhamdulilah, Pak. Bapak sedang mencari rumput untuk kambingnya?”
Rahman :
“Kambing – kambing saya sudah dijual semua, Pak. Untuk biaya sekolah Heri di
SMA. Tinggal sapi 2 ekor.”
Muis :
“Wah, bagus itu. Bapak sangat memperhatikan pendidikan anak.”
Rahman :
“Selama saya masih mampu membiayainya, saya akan menyekolahkan Heri sampai
akhir.”
Muis : “Bagus sekali itu, Pak.”
Rahman : “Ini semua juga karena saya ingin Heri
bisa seperti Bapak.”
Muis : “Maksudnya apa, Pak?”
Rahman : “Pak, kenapa Bapak betah menjalani
kegiatan yang sangat padat, dari mengajar, berladang hingga mengajar mengaji?”
Muis : “Menjalani kegiatan yang padat,
bukan dilihat betah atau tidak, senang atau tidak. Bagaimana kegiatan itu
dijalani lebih penting. Ketika waktu yang melingkupi kehidupan setiap hari
berhasil ditaklukan dengan berbagai kegitan, berarti kita memanfaatkan seluruh
potensi yang dianugerahkan Allah pada kita. Anugerah berupa pikiran, hati,
imajinasi, dan tubuh yang sehat harus digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang
bermakna bagi kehidupan.”
Rahman :
“Tapi, imbalan untuk Bapak tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh?”
Muis :
“Jika kehidupan dipandang dari hasil, akan kiamat dunia ini. Sebab hasil tidak
setiap saat seiring dengan proses, ketika tidak berimbang kita akan kecewa,
frustasi, stres dan pusing. Maka, melakukan suatu proses yang optimal, tidak
harus mengharap hasil optimal pula. Percayalah! Dengan proses optimal, kita
akan menggapai makna kehidupan yang dalam. Makna kehidupan yang akan menggiring
pada kebijaksanaan, kebaikan tertinggi, dan kebahagiaan sempurna. Sehingga kita
bisa menangkap ikan dalam air keruh tanpa riak.”
Rahman : “Apa Bapak sudah mencapai taraf itu?”
Muis : “Belum. Saya percaya akan
mencapainya suatu saat. Waktu yang akan mencatat apa yang telah kita kerjakan
di dunia, tempat perhentian sesaat yang sewaktu – waktu bisa ditinggalkan.
Rahman : “Bapak adalah tokoh yang sebenarnya,
yang diimpikan kehadirannya oleh seluruh rakyat Indonesia. Bapak figur yang
tepat menjadi tokoh tanpa menjadi tokoh, yang mampu mengerahkan segala potensi
yang dimiliki demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tanpa melihat imbalan yang diperoleh,
tanpa melihat hail yang di dapat, tanpa pamrih. Seharusnya Andi Malarangeng,
Nurdin Halid, SBY, dan para pejabat tinggi kita belajar pada Bapak. Kehadiran
Bapak lebih bermakna bagi rakyat dari tokoh itu sendiri.”
Muis : “Jangan terlalu memuji saya,
Pak. Saya
hanya orang biasa saja.”
Rahman :
“Karena itulah saya ingin anak saya, Heri bisa seperti Bapak. Pekerja keras dan
tanpa pamrih.
Muis :
(Tersenyum).
Senyum
yang memberi tanda agar tidak terhanyut dalam buaian pujian. Pujian adalah
racun yang bisa membunuh. Muis berhati – hati terhadap racun, maka ia tak
pernah memedulikannya.
"naskah drama ini adalah tugas kuliah Ekspresi Tulis Sastra lima tahun lalu. agak sensitif judulnya karena diambil dari nama seseorang yang saya kenal. semoga dapat memberimu inspirasi, kawan! maaf untuk Kang Muis yang namanya saya curi untuk judul naskah drama ini."
*zalinggar* pecinta sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar