Rumah Yang Terang
Listrik sudah empat tahun masuk kampungku dan sudah
banyak yang dilakukannya. Kampung seperti mendapat injeksi tenaga baru yang
membuatnya menggeliat penuh gairah. Listrik memberi kampungku cahaya, musik, es
sampai api dan angin. Di kampungku listrik juga membunuh bulan dan langit.
Bulan tidak lagi menarik hati anak-anak, bulan tidak lagi mampu membuat bayang-bayang
pepohonan. Tapi, kampung tidak merasa kehilangan bulan. Juga tidak merasa
kehilangan tiga laki-laki yang tersengat listrik hingga mati.
Sebuah tiang lampu tertancap di depan rumahku. Seperti
teman-temannya sesama tiang listrik yang membawa perubahan pada rumah yang
terdekat. Demikian pula halnya beton langsing yang menyangga kabel-kabel di
depan rumahku itu. Bedanya, yang dibawa ke rumahku adalah celoteh-celoteh
sengit dua tetangga di belakang rumah.
Sampai sekian lama, rumahku tetap gelap. Ayahku tidak
mau pasang listrik. Inilah yang membuat tetangga di belakang rumah merasa
jengkel terus-terusan. Keduanya sangat berhasrat menjadi pelanggan listrik.
Tapi, hasrat mereka tak mungkin terlaksana sebelum ada dakstang di bubungan rumahku.
Rumah dua tetangga di belakang rumah itu terlalu jauh dari tiang.
Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti
mendapat jalan buat berkata seenaknya terhadap ayah. Tentu saja dua tetangga
itulah sumbernya. “Haji Bakir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil.
Dia kaya, tapi tak mau pasang listrik. Tentu saja dia khawatir akan keluar
banyak duit.”
Kadang celoteh yang sampai di telingaku demikian tajam
sehingga aku tak kuat untuk menerimanya. Mereka mengatakan ayahku memelihara
tuyul. “Tentu saja Haji Bakhir tak mau pasang listrik karena tuyul tidak suka
cahaya terang.” Yang terakhir kedua tetangga itu merencanakan tindakan yang
lebih jauh. Entah belajar dari mana mereka menuduh ayahku melanggar asas
kepentingan umum. Mereka menyamakan ayahku dengan orang yang tidak mau
menyediakan jalan bagi seseorang yang bertempat tinggal di tanah yang
terkurung. Konon, mereka akan mengadukan ayahku kepada lurah.
Aku sendiri bukan tidak punya masalah dengan sikap ayah.
Pertama, akulah yang lebih banyak menjadi bulan-bulanan celoteh yang makin
meluas di kampungku. Ini sungguh tidak nyaman. Kedua, gajiku sebagai
propagandis pemakaian kondom dan spiral memungkinkan aku punya radio, pemutar
pita rekaman, juga TV (karena aku masih bujangan). Maka, alangkah konyolnya;
sementara listrik ditawarkan sampai ke depan rumah, aku masih harus repot
dengan setiap kali membeli baterai dan nyetrum aki.
Ketika belum tahu latar belakang ayah, aku sering
membujuk. Lho, mengapa aku dan ayah tidak ikut beramai-ramai bersama orang
sekampung membunuh bulan? Pernah kukatakan, apabila ayah enggan mengeluarkan
uang maka pasal memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena
kata-kataku ini ayah tersinggung. Tasbih di tangan ayah yang selalu berdecik
tiba-tiba berhenti.
“Jadi, kamu seperti semua orang yang mengatakan aku
bakhil dan pelihara tuyul?”aku menyesal. Tapi, tak mengapa karena kemudian ayah
mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa beliau tidak mau pasang listrik. Dan
alasan itu tak mungkin kukatakan kepada siapapun, khawatir hanya akan
mengundang celoteh yang lebih menyakitkan. Aku tak rela ayah mendapat cercaan
lebih banyak.
Betapa juga ayah adalah orang tuaku yang membiayai
sekolahku hingga aku kini adalah seorang propagandis pemakaian kondom dan
spiral. Lalu mengapa orang kurang menghayati status yang kini kumiliki. Menjadi
propagandis pemakaian kondom dan spiral tidak hanya membawa keuntungan material
berupa gaji intensif, melainkan ada lagi yang lain. Aku mendapat peluang besar
berhadapan dengan kaum perempuan yang masih subur rahimnya, subur dadanya
bahkan subur birahinya. Aku seperti mendapat SIM untuk berbicara yang
nyerempet-nyerempet bahaya. Dan sekiranya orang berani secara jujur mengakui,
berbicara keporno-pornoan adalah dorongan untuk melampiaskan naluri primitif yang mengasyikkan.
Jadi, aku mengalah pada keteguhan sikap ayah. Rela
setiap kali beli baterai dan nyetrum aki
dan rela menerima celoteh orang sekampung yang tiada hentinya.
Ketika ayah sakit, beliau tak mau dirawat di rumah
sakit. Keadaan beliau makin hari makin serius. Tapi, beliau bersiteguh tak mau
diopname. Aku berusaha menyingkirkan perkara yang kukira menyebabkan ayah tak
mau masuk rumah sakit.
“Apakah ayah khawatir di rumah sakit nanti ayah akan
dirawat dalam ruang yang diterangi lampu listrik? Bila demikian halnya maka akan kuusahakan agar mereka
menyalakan lilin saja khusus bagi ayah.”
Tanggapan ayah adalah rasa tersinggung yang terpancar
dari mata beliau yang sudah biru memucat. Ya Tuhan, lagi-lagi aku menyesal. Dan
jiwaku mendadak buntu ketika mendengar ucapan ayah tersendat-sendat.
“Sudahlah, Nak. Kamu lihat sendiri, aku hampir mati. Sepeninggalku
nanti kamu bisa secepatnya memasang listrik di rumah ini.”
Tidak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata ayah yang
mengandung ironi demikian tajam. Sesalku tak habis-habisnya. Dan malu.
Keahlianku melakukan pendekatan verbal yang biasa kulakukan selama aku menjadi
propagandis pemakaian kondom dan spiral ternyata hanya punya arti negatif di hadapan ayah. Lebih
malu lagi karena ucapan ayah tadi adalah kata-kata terakhir yang ditujukan
kepadaku.
*
Seratus hari sesudah kematian ayah, orang-orang
bertahlil di rumahku sudah duduk di bawah lampu neon dua puluh watt. Mereka
memandangi lampu dan tersenyum. Dua tetangga belakang rumah yang tentu saja sudah pasang listrik
mendekatiku.
“Nah, lebih enak dengan listrik, ya Mas?”
Aku diam karena sebal melihat gaya mereka yang pasti
menghubung-hubungkan pemasangan listrik di rumahku yang baru bisa terlaksana sesudah
kematian ayah. Oh, mereka tidak tahu bahwa aku sendiri menjadi linglung.
Listrik memang sudah kupasang, tapi aku justru takut menghidupkan radio, TV, dan pemutar pita
rekaman. Sore hari aku tak pernah berbuat apapun sampai ibu yang menghidupkan lampu. Aku enggan
menjamah sakelar karena setiap kali aku melakukan hal itu tiba-tiba bayangan
ayah muncul dan kudengar keletak-keletik suara tasbih.
Linglung. Maka, tiba-tiba mulutku nyerocos. Kepada para
tamu yang bertahlil aku mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa ayahku tidak
suka listrik, suatu hal yang seharusnya tetap kusimpan.
“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya
keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya
dihabiskan semasa hidup maka ayahku amat khawatir tidak ada lagi cahaya bagi
beliau di alam kubur.”
Aku siap menerima celoteh dan olok-olok yang mungkin
akan dilontarkan oleh para tamu. Karena aku sendiri pernah menertawakan pikiran
ayah yang antik
itu. Aneh, para tamu malah menunduk. Aku juga menunduk, sambil berdoa tanpa sedikit
pun kadar olok-olok. Kiranya ayahku mendapat cukup cahaya di alam sana.
*) dari Buku Kumpulan
Cerpen karya Ahmad Tohari; Senyum Karyamin.
"bergetar, begitulah hati saya ketika selesai membaca cerpen karya Ahmad
Tohari ini. Saya pernah membacakan cerpen ini di depan anak-anak didik saya,
beberapa dari mereka da yang berkaca-kaca setelah menyimaknya. Mungkin mereka
juga merasakan hal yang sama dengan saya. Iya, cerpen ini benar-benar menyentil
hati saya. Benar-benar tersindir karenanya. Ahmad Tohari dengan latar khasnya;
masyarakat pedesaan yang sangat awam, beliau mampu memberi pesan yang teramat
dalam dari karyanya. Saya pernah membacakan cerpen ini dalam forum halaqah yang saya ikuti. Kata murabbi
saya, sangat menginspirasi. Iya, cerpen ini bisa menyadarkan kita bahwa secara
sadar ataupun tidak kita sudah mengikuti arus hedonis. Sedikit ataupun banyak,
keglamoran sudah memengaruhi pola pikir kita. Dan dengan membaca cerpen ini,
semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah yang disampaikan. Amin.”
*zalinggar* pecinta sastra
Artikel yg sangat membantu.
BalasHapusTerima kasih...
Hapus