Minggu, 03 April 2016

Rangkaian Kata Indah Budi Maryono

Saya mengumpulkan rangkaian kata indah dari akun FB Budi Maryono. Selamat menikmati. Semoga bermanfaat.  ^_^


PERLINTASAN RINDU     


"Tak ada yang kepagian untuk cinta," katamu seraya melukis langit senja dengan krayon biru muda. Aku tertawa karena luka menahun kembali terbuka: kita duduk bertentang di atas biduk yang tak hendak meninggalkan tepian. "Cinta..." kataku, "bisa kemalaman juga." Kau ambil krayon hijau lumut, kau gambar setapak di depan yang kian lama makin mengabut. "Lalu di manakah kita?" tanyamu dalam gusar Waktu. "Di perlintasan rindu," jawabku. Sedikit ragu, sedikit malu.


KETIKA LANGIT LEBIH RENDAH  

Baiklah, begini saja: lepas semua anak panah yang kau punya dari titik terdekat, lalu tinggalkan dengan siul atau nyanyian. Aku rela arang kranjang asal api tersekam tak lagi ada. Mungkin kita bertemu, suatu hari nanti, ketika langit lebih rendah dan bisa memetik bulan tanpa berkhayal. Jika itu terjadi, kupastikan, kau tak akan melihat segores pun luka di tubuh ini.

MAKA KEPADA WAKTU


Pernahkah kau lihat rimbun daun yang diam, kesepian, karena tak ada angin? Itulah aku ketika kau tak berkabar bahkan lewat aneka rupa gumpalan awan. Pernahkah kau lihat pagi yang menggigil, kedinginan, karena sisa hujan semalam? Itulah aku ketika kau berjalan di setapak jauh tanpa sejenak pun berhenti untuk tersenyum tipis dalam kabut yang gerimis. Maka kepada Waktu yang selalu ada meski bukan kita punya, tak bosan aku meminta, “Satukan kami! Satukanlah kami!”


CANDI KESERIBU             

Bersamamu, ingin kutulis sebuah legenda: lelaki yang membangun candi keseribu setelah ayam berkokok dan lesung bertalu. Tak ada batas bila sebab perempuan yang meminta bersetia menunggu. Ya, ya, fajar dan senja memang beda tanda namun toh sama-sama jingga. Pada hari yang tersepakati, keduanya memahatkan fabel lucu di dinding candi. “Cerita cinta kita,” kata sang Lelaki, “cukuplah terpahat di hati.”

KECUALI HATI    


“Rawat baik-baik rindu itu,” pesanku melalui jari yang bergetar dalam hujan sembari menyembunyikan gaduh di balik gemericik pelimbahan. Tiba-tiba semua merambat. Teramat lambat. Hingga kudengar jantung kita bersahut bicara dalam detak. Karena rindu adalah janji, tak perlu saksi kecuali hati –meski Waktu tetap saja misteri.

"... Citra akan terbentuk dengan sendirinya. Kalimat yang kita ucapkan untuk membentuk citra hanya akan menurunkan kualitas diri..."

-- "Satria" dalam kumpulan cerpen SEMAR YES! (2012:8)

DI PUCUK RUMPUT       

Kutitipkan wajahmu dalam basah embun hingga cinta yang kupesan dari langit pun memantul. Lalu tak jelas siapa yang memulai, daki-mendaki kita menutup matahari dengan mendung. “Gelap akan memanjang,” bisikku. Kau mengangguk dan menciumiku tanpa ampun!

KAMUKAH IA     


Pada daun berayun aku bertanya kamukah dewi di pojok mimpi tentang asmara di tanah guguran bunga-bunga. Kamukah rindu yang kutunggu di ruang tamu namun tumpah di depan pintu. Kamukah kasih yang menyentuh luka dari jauh cuma. Kamukah kabar baik yang senantiasa terempas badai hingga tak sampai-sampai. Atau, jika Waktu berpihak pada cinta, kamukah hasrat yang luruh dalam dekap berabad harap.


KUSEDUH. UNTUKMU  

Tetapi apakah bisa kau sembunyikan hasrat dari mata, terpejam sekalipun, ketika hujan yang kau tunggu tak juga datang? Bukankah kau selalu gagal menutup pintu walau senja telah lalu? Maka nyanyikan saja lagu yang lahir dari gelisah perawan di daun jendela. Tangkap dan simpan angin lewat sebelum menikung di sudut gelap. Pada Bila yang kita gantang bersama, kuseduh rindu suam kuku. Untukmu.

NAMUN CINTA


Sebenarnyalah bisa kubangun seribu candi dalam semalam, meminang sebelum fajar, dan membawamu berlayar --bahkan tanpa kompas tanpa tujuan. Namun cinta melarangku! Merupa kepompong demi kupu-kupu, merahimi renjana demi Waktu. Kembali kujahit luka. Sendiri. Di kini.



TOH

Aku tahu bukan begini cara menyentuhmu: berkhayal tentang negeri yang hanya ada satu meja dan dua kursi lalu kita bebas bertukar hati dengan puisi. Tapi jus rasa aneh yang kita sukai itu tak ada di sini --paling tidak, saat ini. Jadi kenapa tak kau sediakan sedikit saja jalan tualang yang tak harus bersimpang di kenyataan? Toh, seperti yang acap kau katakan, siang bukan riuh malam pun bukan sunyi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar